Jumat, 03 Desember 2010

Bukan tanpa sebab air laut rasanya asin. Sebab, bias dibayangkan bila air laut rasanya tawar, semua kotoran dari daratan terutama bangkai dan sampah masuk kelaut. Lupakanlah sampah daratan, isi lautan saja sudah lebih dari cukup untuk meracuni udara bila air laut tawar. Luas lautan hamper dua per tiga luas bumi, ekosistem yang yang ada jumlahnya jutaaan atau bahjan lebih.

Pernahkah kita membaayangkan, seperempat saja penghuni lautan dari jenis ikan mati membusuk maka sisanya akan mati, bila air itu tawar. Bila semua ikan dilautan mati membusuk dan meracuni udara, sangat pasti semua makhluk didaratan bumi termasuk manusia akan turut musnah.
Apakah itu mungkin..? mengapa tidak, hitungan matematisnya adalah seekor bangkai tikus got (biar agak besar) akan menimbulkan bau yang tercium dari radius beberapa meter, bila kita berada didepan bangkai itu perut kita mual bahkan mungkin kepala ikut pusing karena bau yang menyengat. Nah loh….bangkai kambing dan sapi tentu radius bau lebih luas dan efeknyapun pasti lebih kenceng. Lalu bagaimana jika bangkai yang membusuk itu adalah ikan paus yang besarnya wuaaalah geudeee buangeet…, truss bukan seekor lagi tapi seperempat jumlah mereka yang ada di lautan ditambah ikan-ikan lain.. udara pasti terkontaminasi racun, tanpa ada penawar, tanpa ada penetralisir, kehidupan diatas bumi pasti musnah.

Akan tetapi, Allah dengan ilmunya telah menetapkan segala sesuatu tanpa sia-sia apalagi asal bikin (Rabbana ma kholaqta hadza bathila) tetapi dengan perencanaan (takhthith) yang matang (in kulla syain illa biqadar). Air laut rasanya asin, inilah penawar yang telah Allah ciptakan, inilah penetralisir bau bangkai menyengat. Ombak yang tecipta dari suhu udara dan angin mengaduk-aduk isi perut laut sehingga keseimbangan itupun tercipta menghindarkan kemusnahan yang mengerikan.
Terkadang bahkan mungkin lebih sering kita mengutuk dang meratap, mana keadilan Allah, mana risky Allah untuk kita pada saat kita merasa kesulitan. Padahal bila kita merenung sejenak kemudian memikirkan jsekian banyak nikmat Allah ynag terasa namun tidak pernah dirasa dan disadarai, sungguh kenikmatan itu sangat banyak dan tidak akan menyisakan waktu jeda untuk berkata mana nikmat Allah?… mata memandang dalah nikmat, telingan mendengar adalah nikmat, hidung mencium bau adalah nikmat, berjalan adalah nikmat, semua adalah nikmat yang jarang bahkan mungkin (naudzubillah) tidak pernah kita sadari dan kita syukuri. Rabbanghfirlana dzunubana.
Selalu ada hikmah dalam setiap ciptaan Allah di alam yang luas ini, dan hikmah itu akan didapat oleh mereka yang mau membaca fenomena dan mensyukuri nikmat Allah sekecil apapun bentuknya, wan ma yu`tal hikmata faqad utiya khoiron katsiro.
Itu baru sisi negative apabila air laut rasanya tawar, lalu bagaimana bila kita kaji nilai positif dari lautan dan apa yang ada didalamnya, sungguh ayat-ayat Allah sangat banyak yang menyitir lautan dan yang berkenaan dengannya. Dalam konteks kebaikan ada bahtera berlayar dilautan dengan teknologi angin dan hukum Archimedes, menyelam mengambil mutiara. Dalam konteks adzab, ada fira’un dan anak nabi Nuh yang ditenggelamkan. Dalam konteks pengetahuan, ada perumpamaan di dalam Al-qur`an”jika air lautan dijadikan tinta maka ilmu Allah tidak akan habis. Akan tetapi, ada pertanyaan menggelitik jika kita mengkaji laut dengan konteks Negara kita Indonesia, kenapa limpahan anugerah lautan yang begitu luas ini tidak mampu mensejahterakan bangsa yang besar ini? Ada apa dengan Negara kita, apakah kita termasuk mereka yang tidak mensyukuri nikmat lautan yang sarat dengan kebaikan?… wallahu a’lam, yang jelas pengelolaan bangsa ini mesti titingkatkan, dan yang paling pentingadalah siapa Pengelola itu?…jangan sampai menyimpan orang yang tidak cakap ditempat cakap,

Fabiayyialaairabbikuma tukadziban, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Fenomena ini dengan cerdas dicatat dalam kitab al-Bidayah wan-Nihayah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar